pernikahan dini tingkatkan kematian ibu dan anak
setiap
tiga menit, di manapun di Indonesia, satu anak balita meninggal dunia. Selain itu, setiap jam, satu
perempuan meninggal dunia ketika melahirkan atau karena sebab-sebab yang
berhubungan dengan kehamilan
Di beberapa daerah di Indonesia, pernikahan dini masih menjadi fenomena
yang sering ditemui. Padahal baru-baru ini penelitian di AS mengungkapkan bahwa
pernikahan yang dilakukan wanita di bawah usia 18 tahun berpotensi meningkatkan
angka kematian ibu dan anak.
Anita Raj, PhD dari Department of Medicine, University of
California menyebutkan,” Negara-negara dengan angka pernikahan dini
yang tinggi lebih cenderung berkaitan dengan tingginya angka kematian ibu dan
bayi. Melahirkan di usia yang terlalu muda bisa menjadi penyebabnya.”
Peneliti menegaskan jika prosentase angka pernikahan dini turun sebanyak 10
persen, maka bisa dikaitkan dengan penurunan angka kematian ibu sebesar 70
persen.
Fenomena pernikahan dini pada dasarnya merupakan bagian dari budaya
masyarakat tertentu. Minimnya akses mendapatkan fasilitas kesehatan, tingkat
pendidikan yang rendah, dan asupan gizi yang kurang memadai adalah beberapa
faktor risiko penyebab kematian ibu dan anak akibat menikah di usia dini.
“Kemiskinan dan konflik-konflik yang ada juga dapat mempertajam keinginan
orang tua agar anak gadisnya menikah di usia dini,” tambah Raj seperti
dikutip Medindia.
Tingginya angka kematian ibu dan bayi biasanya terjadi akibat komplikasi
saat melahirkan, tubuh kekurangan gizi, hingga bayi terlahir cacat.Inilah
sebabnya seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa banyak risiko yang harus
dihadapi jika menikah di usia dini.
Anak-anak dari ibu yang kurang
berpendidikan umumnya memiliki angka kematian yang lebih tinggi daripada mereka
yang lahir dari ibu yang lebih berpendidikan. Selama kurun waktu 1998-2007,
angka kematian bayi pada anak-anak dari ibu yang tidak berpendidikan adalah 73
per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi pada anak-anak dari
ibu yang berpendidikan menengah atau lebih tinggi adalah 24 per 1.000 kelahiran
hidup. Perbedaan ini disebabkan oleh perilaku dan pengetahuan tentang kesehatan
yang lebih baik di antara perempuan-perempuan yang berpendidikan.
Indonesia mengalami peningkatan feminisasi
epidemi HIV/AIDS. Proporsi perempuan di antara kasus-kasus HIV baru telah meningkat
dari 34 persen pada tahun 2008 menjadi 44 persen pada tahun 2011. Akibatnya,
Kementerian Kesehatan telah memproyeksikan peningkatan infeksi HIV pada
anak-anak.
pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir yang berkualitas dapat mencegah tingginya angka kematian. Di Indonesia,
angka kematian bayi baru lahir pada anak-anak yang ibunya mendapatkan pelayanan
antenatal dan pertolongan persalinan oleh profesional medis adalah seperlima
dari angka kematian pada anak-anak yang ibunya tidak mendapatkan pelayanan ini.
Gambar 4 memberikan gambaran umum tentang cakupan beberapa pelayanan kesehatan
ibu dan bayi baru lahir di Indonesia.
Indonesia menunjukkan
angka peningkatan proporsi persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan yang
terlatih, dari 41 persen pada tahun 1992 menjadi 82 persen pada tahun 2010. Indikator
tersebut hanya mencakup dokter dan bidan atau bidan desa. Di tujuh provinsi
kawasan timur, satu dari setiap tiga persalinan berlangsung tanpa mendapatkan
pertolongan dari tenaga kesehatan apapun, hanya ditolong oleh dukun bayi atau
anggota keluarga
Proporsi
persalinan di fasilitas kesehatan masih rendah, yaitu sebesar 55 persen. Lebih
dari setengah perempuan di 20 provinsi tidak mampu atau tidak mau menggunakan
jenis fasilitas kesehatan apapun, sebagai penggantinya mereka melahirkan di
rumah mereka sendiri. Perempuan yang melahirkan di fasilitas kesehatan
memungkin untuk memperoleh akses ke pelayanan obstetrik darurat dan perawatan
bayi baru lahir, meskipun pelayanan ini tidak selalu tersedia di semua
fasilitas kesehatan.
sumber :