30 April 2014

Review Jurnal Hukum Perikatan III

Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku

R.M. Panggabean
Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Jl. Darmawangsa I No. 1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12140
gabe_police@yahoo.co.id


Pendahuluan
 Penggunaan kontrak baku dewasa ini menunjukkan satu sisi dominasi ekonomi modern oleh badan usaha atau perusahaan. Perusahaan-perusahaan menciptakan bentuk kontrak sebagai bagian untuk menstabilkan hubungan pasar eksternal mereka. Dengan alasan keseragaman dan efisiensi perusahaan telah merumuskan seluruh atau sebagian besar klausul perjanjian secara sepihak. Pihak konsumen tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasikan isi perjanjian. Konsumen hanya memiliki pilihan take it or leave it.

Penggunaan kontrak baku dalam dunia bisnis dewasa ini menimbulkan permasalahan hukum yang memerlukan pemecahan. Secara tradisional suatu perjanjian terjadi didasarkan pada asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang memiliki kedudukan yang seimbang. Kesepakatan yang didapat dalam perjanjian itu merupakan hasil negosiasi di antara para pihak. Proses semacam itu tidak ditemukan dalam perjanjian baku. Hampir tidak ada kebebasan dalam menentukan isi perjanjian dalam proses negosiasi. Isi atau syarat-syarat perjanjian telah ditentukan secara sepihak oleh pengusaha. Praktik tersebut di satu sisi sangat
menguntungkan pengusaha, namun di sisi lain menimbulkan kerugian bagi konsumen.  

Penerapan perjanjian standar ini sejak awal kelahirannya hingga kini menimbulkan kontroversi baik menyangkut keberadaan dan keabsahan kontrak baku. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak secara spesifik mengatur baku. Kini dengan telah berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) masalah keabsahannya mulai terjawab. 

Masyarakat menginginkan perjanjian atau kontrak tetap menjunjung asas-asas universal yang berlaku dalam hukum kontrak yaitu asas kebebasan berkontrak, asas kebebasan memilih hukum yang berlaku dan asas kebebasan menentukan yurisdiksi. Kenyataannya berbeda dimana adanya kecenderungan pelaku usaha untuk menutup suatu transaksi dengan terlebih dahulu telah menyiapkan format-format kontrak yang umumnya telah tercetak (modelled draft of contract) untuk ditandatangani oleh mitra berkontraknya. Disadari maupun tidak disadari hal itu telah menghilangkan atau paling tidak telah membatasi kebebasan berkontrak (freedom of contract) dari mitra berkontraknya untuk secara seimbang dapat menegosiasikan isi kesepakatan yang dapat diterimanya.

 Perdebatan tentang sah atau tidaknya suatu perikatan yang timbul dari suatu perjanjian standar (standardized contract) untuk mengikat ataupun berlaku sebagai hukum para pihak yang berkontrak sudah menjadi persoalan lama kelanjutan dari persoalan yang telah muncul di negara-negara yang telah lebih dahulu menghadapi permasalahan penggunaan pola kontrak standar tersebut, sebagai reaksi atau upaya masyarakat hukum untuk mencari ukuran keadilan, khususnya bagi pihak pengguna barang dan jasa (konsumen) yang lebih cenderung didudukkan pada posisi yang lemah.    Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya hukum yang tegas mengenai pelarangan klausul-klausul baku yang tidak adil yang sering digunakan oleh pelaku usaha untuk menekan konsumen tersebut, asas kebebasan berkontrak serta konsekuensi mengikatnya kesepakatan hukum bagi para pihak (pacta sunt servanda).

 Rumusan Masalah
Pertama, bagaimanakah keabsahan perjanjian dengan klausul baku?
Kedua, bagaimana akibat hukum ketiadaan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian?

Tujuan Penelitian     
Pertama, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang keabsahan perjanjian dengan klausula baku.
Kedua, untuk meneliti dan mengetahui tentang akibat hukum jika perjanjian tidak didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. 

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah metode penelitian normatif yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Penelitian ini mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum dan faktor yang berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian normatif,  maka sumber datanya adalah berupa data sekunder. Data sekunder ini berupa bahanbahan hukum. Penelitian ini menitikberatkan pada data sekunder berupa bahan hukum, untuk mendapatkan hal tersebut dilakukan pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan. Pengolahan bahan hukum hanya ditujukan pada analisis bahan hukum secara deskriptif kualitatif, yaitu menguraikan bahan hokum sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, selanjutnya dianalisis berdasarkan teori yang berkaitan dengan permasalahan untuk sampai pada kesimpulan.             








Daftar Pustaka
Darus Badrulzaman, Mariam, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
______, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
H.S., Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003.

Khairandy, Ridwan, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
______, “Keabsahan Perjanjian Standar Pasca Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, Makalah, Jogjakarta, 2007.

Patrik, Purwahid, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit
UNDIP, Semarang, 1986.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, PT Alumni, Bandung, 1986.

Remy Sjahdeini, Sutan, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir di Indonesia,
Jakarta, 1993.

Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan Yang Timbul dari Perjanjian, Buku 1,Citra Adiyta
Bakti, Bandung, 1995.
______, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1995.

Setiawan, “Dari Up Grading dan Refreshing Course Notaris, Pembahasan Ihwal
Kebebasan Berkontrak”, News Letter No. 13 /IV/Juni, 1993.

______, “Kontrak Standar dalam Teori dan Praktek”, Varia Peradilan, Tahun IX, No.
103, April 1994.

Simanjuntak, Ricardo, “Akibat dan Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Polis Asuransi Yang bertentangan dengan Pasal 18 Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 2 Tahun 2003.

Subekti, R., Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984.




NAMA KELOMPOK                      :

1.      DEWI SETIAWATI                        (21212963)
2.      RIVALNO                             (26212494)
3.      WIWIEK WIDYASTUTI   (28212175)

KELAS     (2 EB 12)

15 April 2014

Review Jurnal Hukum Perikatan II


WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR

Vienna P Setiabudi
Lulusan program studi ilmu hukum pascasarjana Universitas Sam Ratulangi, Manado Tahun 2013


D. PEMBAHASAN

1.   Penerapan Prinsip Hukum Perjanjian dalam Sewa Beli Kendaraan Bermotor di Kota Manado

Pelaksanaan perjanjian sewa beli kendaraan bermotor pada perusahaan pembiayaan dituangkan dalam bentuk tertulis, yakni dalam bentuk perjanjian baku (standard contract). Isi atau klausula-klausula perjanjian tersebut dibakukan dan dituangkan dalam formulir (blanko). Calon nasabah cukup membubuhkan tanda tangannya saja apabila bersedia menerima isi perjanjian. Penandatanganan perjanjian tersebut menunjukkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat akan isi perjanjian yang mulai berlaku dan mengikat sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian oleh nasabah dan berakhir setelah nasabah memenuhi kewajibannya.

Perjanjian baku dalam kenyataannya menjadi satu kontroversi dalam pembahasan mengenai hukum perjanjian terutama mengenai keabsahan perjanjian baku tersebut. Penilaian keabsahan perjanjian baku menurut peneliti tetap harus mengacu pada ketentuan Pasal 1320 bugerlijk wetboek (BW) Indonesia mengenai syarat sah perjanjian yaitu sepakat, cakap, kausa halal, dan hal tertentu. Persyaratan tersebut di atas berkenaan mengenai subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian. Persyaratan yang ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian.

Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku. Penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian sewa beli menurut peneliti merupakan satu upaya untuk mewujudkan efisieni. Satu hal yang patut untuk diperhatikan adalah perjanjian baku tersebut tetap memenuhi syarat sah perjanjian dengan menghindari penggunaan klausula eksonerasi atau klausula yang menghilangkan tanggung jawab salah satu pihak. Hal ini merupakan implikasi dari konstruksi hukum perjanjian sewa beli sebagai bentuk hubungan kontraktual yang menempatkan kedua belah pihak pada kedudukan yang proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian.

Prinsip kebebasan berkontrak dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor di Kota Manado dalam pandangan peneliti memiliki dua sudut pandang yaitu pertama, dari sudut pandang kebebasan untuk memilih mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri dalam perjanjian, prinsip kebebasan berkontrak telah diterapkan dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor di Kota Manado. Kedua, dilihat dari sudut padang kebebasan berkontrak sebagai kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya, prinsip kebebasan berkontrak belum diterapkan karena dalam perjanjian sewa beli kendaran bermotor di Kota Manado, pihak konsumen sama sekali tidak diberikan hak untuk tidak menerima klausula yang dianggap tidak sesuai dengan kehendaknya. 

Perjanjian baku dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor tetap merupakan perjanjian di mana kesepakatan antara kedua belah pihak terwujud ketika pihak konsumen menandatangani kontrak tersebut. Nasabah menyatakan persetujuan dengan menandatangani dan tidak menandatangani jika tidak menyetujui klausula perjanjian. Asas kebebasan berkontrak tetap menjadi jiwa dari suatu perjanjian baku sepanjang perjanjian tersebut tidak mengandung klausula yang dilarang oleh Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta tidak bertentangan dengan undang-undangan, ketertiban, dan kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 bugerlijk wetboek (BW) Indonesia dan tidak mengandung suatu hubungan yang timpang akibat keunggulan ekonomi dan psikologis salah satu pihak yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu cacat kehendak. 

Akibat hukum dari klausul eksonerasi dan penyalahgunaan keadaan jika dikaitkan dengan bugerlijk wetboek (BW) Indonesia adalah dapat dibatalkan karena klausula eksonerasi dan penyalahgunaan keadaan tersebut tidak memenuhi syarat subjektif dari sebuah perjanjian, yaitu adanya cacat kehendak dalam kesepakatan antara kedua belah pihak. Akibat hukum klausula eksonerasi dapat pula dicermati dari ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menegaskan klausula eksonerasi sebagai klausula terlarang yang memiliki akibat batal demi hukum. Klausula ekosnerasi sebagai klausula yang terlarang ditemukan dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang secara umum menentukan bahwa berbagai klausula eksonerasi adalah batal demi hukum (Pasal 18 ayat 3) Pasal 1323 dan Pasal 1337 bugerlijk wetboek (BW) Indonesia juga memberikan larangan atas klausula eksonerasi.

Pasal 1323 secara tegas menyatakan larangan tersebut sedangkan Pasal 1337 menyatakan tidak boleh ada klausula yang bertentangan dengan undang-undang, kebiasaan, dan kesusilaan. Pencantuman klausula eksonerasi menurut peneliti dapat pula disebut sebagai suatu perbuatan melawan hukum dalam konsepsi Pasal 1365 bugerlijk wetboek (BW) Indonesia. Ketentuan Pasal 1365 bugerlijk wetboek (BW) Indonesia menegaskan bahwa unsur perbuatan melawan hukum terpenuhi apabila seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya dan salah satu kewajiban para pihak dalam perjanjian adalah menempatkan pihak lainnya pada pihak yang memiliki keseimbangan dalam memberikan kehendak dalam perjanjian sehingga dapat melahirkan kesepakatan. 

Penerapan prinsip konsensual dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor di Kota Manado belum sepenuhnya diterapkan karena perjanjian sewa beli masih menunjukkan adanya penyalahgunaan keadaan dalam penentuan klausula perjanjian. Hal ini dapat dilihat dari beberapa klausula antara perusahaan pembiayaan sebagai pihak pertama dalam perjanjian dan konsumen sebagai pihak kedua Keberlakuan asas pacta sunt servanda tidak menyebabkan suatu perjanjian dapat memuat klausula yang melepaskan tanggung jawab salah satu pihak dan memberikan kerugian pada pihak lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa di atas perjanjian terdapat pembatasan terhadap asas pacta suntservanda, yaitu asas kepatutan dan salah satu bentuk ketidakpatutan adalah perjanjian memuat klausula yang membebaskan tanggung jawab salah satu pihak.Perjanjian sewa beli sebagai sebuah perjanjian pun memiliki batasan berupa kepatutan sebagaimana yang dikemukakan oleh O.C Kaligis tersebut di atas.

Perusahaan pembiayaan dan nasabah sebagai pihak dalam perjanjian terikat pada klausula-klausula yang diperjanjikan namun hal tersebut dibatasi oleh prinsip kepatutan, yakni sepanjang perjanjian tersebut tidak mengandung klausula yang membebaskan tanggung jawab salah satu pihak dalam perjanjian. Klausula baku yang merupakan bentuk dari perjanjian sewa beli memungkinkan perusahaan pembiayaan untuk menuangkan klausula-klausula yang memberikan kedudukan yang tidak seimbang dalam perjanjian.

Kepatutan dalam perjanjian berkaitan dengan kesesuaian dan keselarasan antara perjanjian dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kepatutan dengan acuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan pula dengan prinsip itikad baik dan prinsip kehati-hatian. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor. Prinsip kehati-hatian pihak perusahaan pembiayaan dilaksanakan dengan melakukan penelitian secara cermat terhadap data dan dokumen para calon nasabah termasuk melakukan peninjauan ataupun verifikasi melalui telepon kepada pihak anggota keluarga calon nasabah dan kantor tempat bekerja para calon nasabah.

Prinsip kehati-hatian dari calon nasabah diwujudkan dengan membaca secara seksama klausula perjanjian yang disodorkan untuk ditandatangani. Penerapan prinsip itikad baik dapat pula dilihat dari klausula-klausula yang dituangkan dalam perjanjian sewa beli dan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa klausula perjanjian sewa beli yang tidak menunjukkan itikad baik dari pihak perusahaan pembiayaan dalam perjanjian sewa beli kendaraaan bermotor.


2. Bentuk Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor di Kota Manado 

Perjanjian dalam pelaksanaannya memungkinkan untuk tidak terlaksana atau tidak sempurna, baik karena kesalahan maupun karena kekuatan memaksa namun adakalanya perjanjian tidak terlaksana sepenuhnya seperti yang disepakati bahkan perjanjian dapat pula tidak terlaksana sama sekali. Kondisi tidak terlaksanakanya perjanjian tersebut dikenal dengan istilah wanprestasi. Klausula perjanjian pemilikan kendaraan bermotor pada perusahaan pembiayaan memberikan ketegasan mengenai akibat hukum dari setiap bentuk wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian, yaitu :

a. Keterlambatan angsuran maupun denda keterlambatan oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan oleh karena alasan apapun, maka hal ini telah merupakan bukti bahwa konsumen telah melakukan wanprestasi dalam perjanjian.
b. Perusahaan pembiayaan dapat memutuskan perjanjian setiap saat bilamana konsumen melanggar ketentuan perjanjian.

Konsumen menguasakan atau memberikan surat kuasa kepada perusahaan pembiayaan untuk bertindak sebagai kuasa konsumen dalam hal pemutusan perjanjian untuk tujuan pemilikan kembali dan penjualan kembali barang untuk memenuhi jumlah-jumlah terhutang oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan. Pihak pertama berhak meminta, mengambil, atau menarik kembali kendaraan bermotor dari pihak kedua atau pihak lain yang menguasainya. Bentuk-bentuk wanprestasi dan akibat hukumnya dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor di Kota Manado adalah :

a. Denda dalam hal keterlambatan.
b. Kewajiban nasabah untuk tetap melakukan pembayaran meskipun terjadi kerusakan, hilang, atau musnahnya kendaraan bermotor.
c. Penarikan kendaraan/pemutusan perjanjian dalam hal tidak dilaksanakannya pembayaran sebagaimana diperjanjikan.

Penyelesaian perselisihan dapat diupayakan sepanjang nasabah mempunyai itikad baik dalam mengembalikan pinjaman kreditnya. Upaya tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit menyangkut jangka waktu pembayaran.
b. Persyaratan kembali (recondition), yaitu perubahan persyaratan perjanjian namun tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit.
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit dengan melakukan perubahan saldo kredit penambahan dana atau

konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru.
Upaya penyelesaian masalah wanprestasi melalui negosiasi lebih menguntungkan sebab :

a. Memelihara hubungan dengan nasabah
b. Nasabah tidak dianggap sebagai lawan sehingga tidak ada upaya untuk mengalahkannya. Nasabah merupakan mitra yang bersama-sama memecahkan masalah. Negosiasi dengan memelihara hubungan yang baik dengan nasabah dapat mencari jalan terbaik untuk menyelsaikan hutang nasabah.
c. Menunjukkan sikap serius dan konsisten

Perkataan atau tingkah laku nasabah dapat memberi keyakinan kepada perusahaan pembiayaan untuk menyelesaikan kredit yang bermasalah. Sikap petugas perusahaan pembiayaan pun sangat menentukan upaya penyelesaian. Sikap serius kedua belah pihak memberikan kemungkinan terjadinya kesepakatan menjual barang jaminan secara baik-baik dan akan memberikan manfaat yang lebih besar. Alternatif penyelesaian kredit macet dengan cara penjualan di bawah tangan akan mengalami kendala bahkan sangat sulit dilaksanakan, jika nasabah tidak lagi beritikad baik sehingga sulit ditemui atau tidak lagi diketahui keberadaannnya.

 Penyelesaian kredit macet dengan cara penjualan di bawah tangan dilakukan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Hal ini penting untuk menjaga kepentingan berdasarkan akan penetapan harga yang tidak wajar oleh pihak perusahaan pembiayaan dapat dihindari. Realitas dalam pelaksanaan sewa beli kendaraan bermotor menunjukan bahwa pada umumnya perusahaan pembiayaan melakukan penarikan kendaraan bermotor dari tangan konsumen secara sepihak apabila konsumen lalai melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu 2 (dua) bulan dan telah dilakukan upaya persuasif namun tidak menyebabkan konsumen melaksanakan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan.

 Penarikan kendaraan secara sepihak ini merupakan salah satu klausula yang terdapat pada perjanjian sewa beli dan menjadi dasar bagi perusahaan pembiayaan untuk melakukan penarikan kendaraan tersebut. Hal ini menurut peneliti merupakan kekeliruan yang patut dicermati dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu :

a. Penarikan kendaraan secara sepihak tanpa melalui putusan/penetapan pengadilaan merupakan ciri dari perjanjian yang memungkinkan parate eksekusi (eksekusi tanpa putusan hakim).
b. Pelaksanaan parate eksekusi dalam hukum jaminan hanya dimungkinkan untuk perjanjian yang secara tegas menyebutkan mengenai parate eksekusi dengan disertai penegasan kalimat “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” melalui pendaftaran penjaminan dengan mekanisme yang ditentukan oleh Undang-undang
sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Perjanjian sewa beli tidak diatur oleh undang-undang yang memungkinkan adanya parate eksekusi sehingga tindakan penarikan kendaraan secara sepihak dalam pandangan peneliti merupakan kekeliruan bagi perusahaan pembiayaan.
c. Penarikan kendaraan secara sepihak dilaksanakan tidak berdasarkan undang-undang tetapi hanya didasarkan pada perjanjian, sehingga klausula tersebut merupakan suatu bentuk klausula eksonerasi yang dilarang oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ketidakadilan dapat terjadi dalam proses penarikan tersebut terutama apabila pembayaran pihak konsumen telah mencapai 50 % dari perjanjian.
d. Penarikan kendaraan yang dilakukan dengan memasuki tempat di mana kendaraan disimpan dapat menimbulkan akibat hukum berupa tindak pidana perampasan atau tindak pidana memasuki pekarangan tanpa izin atau perusakan. Hal ini juga bertentangan dengan ketertiban karena rentan dengan kericuhan bahkan dapat berakhir dengan kekerasan.

Konsekuensi penggunaan pranata sewa beli dalam perjanjian pembelian kendaraan bermotor adalah tidak dimungkinkan penarikan kendaraan secara sepihak dengan menggunakan cara-cara yang disebutkan dalam klausula perjanjian. Penggunaan prosedur parate eksekusi hanya dimungkinkan jika pranata yang digunakan dalam hal ini adalah perjanjian fidusia melalui pendaftaran fidusia 1 (satu) bulan setelah penandatanganan perjanjian fidusia. Perusahaan pembiayaan dapat mencapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelesaian wanprestasi melalui penarikan kendaraan secara langsung dengan jalan mengubah pranata yang digunakan dengan tidak menggunakan perjanjian sewa beli tetapi menggunakan pranata perjanjian fidusia dengan melakukan pendaftaran fidusia pada Kanwil Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pilihan bagi perusahaan pembiayaan dalam hal ini adalah menggunakan perjanjian sewa beli dengan prosedur lebih sederhana dan tidak memiliki kewajiban membayar pendaftaran namun kepada perusahaan pembiayaan tidak diberikan kewenangan melakukan penarikan kendaraan secara langsung atau melakukan perjanjian pembiayaan pembelian kendaraan bermotor dengan menggunakan pranata perjanjian fidusia dengan prosedur lebih panjang dan biaya lebih besar namun memberikan kewenangan kepada perusahaan pembiayaan untuk melakukan penarikan kendaraan secara sepihak (parate eksekusi).

Perjanjian pembiayaan konsumen dalam pembelian kendaraan bermotor di Kota Manado saat ini dilaksanakan disertai pendaftaran fidusia. Kewajiban ini ditegaskan oleh Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Pendaftaran perjanjian pembiayaan konsumen tersebut menyebabkan perubahan pranata perjanjian permbiayaan konsumen secara sewa beli ke perjanjian pembiayaan konsumen secara fidusia. Perubahan pranata ini menurut peneliti memberikan perlindungan hukum yang lebih baik kepada pihak perusahaan pembiayaan karena sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan melalui pendaftaran fidusia memberikan kewenangan kepada perusahaan pembiayaan untuk melakukan parate eksekusi apabila terjadi wanprestasi dari pihak konsumen.

Kelemahan dari pendaftaran fidusia adalah penambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pembiayaan yang menyebabkan peningkatan harga kendaraan yang memberikan implikasi pada penurunan tingkat permintaan konsumen. Perlindungan hukum terhadap perusahaan pembiayaan melalui mekanisme pendaftaran fidusia dalam kenyataannya tidak dilaksanakan secara bersama-sama dengan upaya memberikan perlindungan hukum yang optimal kepada pihak konsumen. Hal ini dapat dicermati dari klausula perjanjian yang dicantumkan masih mengandung klausula eksonerasi, tidak ada perubahan substansi perjanjian, yang ada hanya perubahan formalitas pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen yang mencirikan perjanjian sewa beli ke formalitas yang mencirikan perjanjian fidusia. Substansi kontrak secara materil masih menunjukkan kedudukan pihak konsumen tidak diberikan secara adil oleh pihak perusahaan pembiayaan.

Peneliti berpendapat bahwa pendaftaran fidusia sebagai upaya untuk menciptakan suatu sistem pembiayaan yang lebih memberikan kepastian hukum seharusnya dilaksanakan bersama dengan upaya untuk menciptakan suatu sistem pembiayaan yang memberikan keadilan bagi kedua belah pihak. Lembaga-lembaga yang terkait seharusnya memberikan standar dalam penentuan substansi kontrak agar tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban, dan kesusilaan. Praktek dalam perjanjian fidusia ini dapat mencontoh mekanisme perjanjian hak tanggungan di mana pihak Badan Pertanahan Nasional memberikan rambu dan standar dalam penentuan klausula perjanjian hak tanggungan disertai mekanisme penerapan sanksi dari Badan Pertanahan Nasional kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak membuat perjanjian yang mencermintkan keselarasan dengan undang-undang, ketertiban, dan kesusilaan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia seharusnya melakukan upaya yang serupa dan memberikan pula sanksi kepada notaris yang menuangkan perjanjian yang tidak selaras dengan undang-undang, ketertiban, dan kesusilaan.

Penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian sewa beli dapat dilakukan dengan cara musyawarah dan jika jalan ini gagal dilaksanakan, maka bentuk penyelesaian yang tepat adalah mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan. Pengajuan gugatan dalam kenyataannya menimbulkan kondisi tidak efektif dan tidak efisien bagi pihak perusahaan pembiayaan namun efektivitas dan efisiensi dalam hal ini tidak dapat dijadikan dasar untuk mengesampingkan kaidah hukum yang telah digariskan. Setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, maka apabila jalan kekeluargaan tidak dapat ditempuh maka pihak perusahaan pembiayaan pun tidak diperkenaankan untuk melakukan penarikan secara sepihak tetapi dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penarikan secara paksa dengan disertai penetapan pengadilan.
           
Hal ini menunjukkan bahwa baik perjanjian sewa beli maupun perjanjian fidusia pada hakikatnya tidak memperkenankan penarikan kendaraan secara sepihak dengan menggunakan debt collector sebagaimana dalam praktik selama ini. Penarikan kendaraan sebagai bentuk parate eksekusi tetap harus dilaksanakan dalam koridor hukum, yaitu dilaksanakan oleh aparat hukum dengan didasari perintah dari Ketua Pengadilan berdasarkan Sertifikat Jaminan Fidusia. Penarikan kendaraan bermotor seharusnya dilaksanakan dengan mekanisme eksekusi oleh juru sita Pengadilan Negeri dan dituangkan dalam Berita Acara Eksekusi. Kendaraan yang dieksekusi dijual dengan mekanisme pelelangan atau pun penjualan di bawah tangan untuk memperoleh harga yang lebih tinggi dan apabila terdapat kelebihan dari selisih antara kewajiban nasabah dengan hasil penjualan kendaraan maka selisih tersebut dikembalikan kepada pihak nasabah. Mekanisme inilah yang merupakan mekanisme yang seharusnya ditempuh dalam penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian pembiayaan konsumen setelah diwajibkannya melakukan pendaftaran fidusia.

E. PENUTUP

Penerapan prinsip hukum perjanjian dalam perjanjian sewa beli yakni prinsip kebebasan berkontrak, prinsil konsensual, prinsip pacta sunt servanda, prinsip itikad baik dan kehati-hatian belum optimal. Hal ini disebabkan oleh klausula eksonerasi dalam perjanjian sewa beli yang menempatkan kedudukan nasabah secara tidak seimbang. penyelesaian terhadap wanprestasi dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor di Kota Manado pada awalnya dilaksanakan dengan penarikan secara sepihak oleh Perusahaan Pembiayaan.

Praktek ini merupakan kekeliruan karena perjanjian sewa beli tidak mengenal parate eksekusi. Tahun 2012 pendaftaran fidusia diwajibkan bagi setiap perjanjian pembiayaan konsumen namun dalam kenyataannya masih terdapat kekeliruan dalam penerapan karena penarikan kendaraan bermotor secara sepihak masih dilakukan oleh pihak debt collector bukan oleh aparat penegak hukum berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang dituangkan Berita Acara Eksekusi.

Klausula perjanjian sewa beli kendaraan bermotor seharusnya menempatkan kedua belah pihak secara adil dan proporsional sehingga tidak melahirkan perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dan penyalahgunaan keadaan. Perjanjian sewa beli kendaraan bermotor seharusnya memuat pula kewajiban dan akibat hukum atas tidak dilaksanakannya kewajiban yang diberikan kepada pPerusahaan pembiayaan. Penarikan kendaraan bermotor secara sepihak oleh perusahaan pembiayaan tidak dapat dilakukan dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor dan hanya dapat dilaksanakan apabila menggunakan pranata perjanjian fidusia. Penarikan sepihak terhadap pembiayaan konsumen yang didaftarkan pada Kanwil Hukum dan HAM pun seharusnya dilaksanakan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri dengan bantuan aparat penegak hukum atas perintah Ketua Pengadilan dan dituangkan dalam Berita Acara Eksekusi untuk selanjutnya dilakukan penjualan melalui lelang atau penjualan di bawah tangan dengan persetujuan pihak konsumen dan pihak perusahaan pembiayaan. Selisih antara utang konsumen dengan hasil penjualan dikembalikan kepada pihak konsumen.


DAFTAR PUSTAKA

·        Abdul Kadir Muhammad. 1990. Hukum Perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
·        Achmad Busro. 2004. Perjanjian Sewa Beli sebagai Bentuk Alternatif Pemasaran Produk. Jurnal Hukum Vol. 14 tanggal 1 Januari 2004.
·        Adrian Sutedi. 2010. Hukum Hak Tanggungan.Sinar Grafika : Jakarta
·        Agus Yodha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, Kencana Prenada Media Group : Jakarta Ahmad. 2004. Dimensi Hukum Islam. Kencana : Jakarta Akh.
·        Munif. 2008. Kontrak Standar dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah dan Kekuatan Hukumnya. Jurnal Justitia, Volume 8 No. 1 November 2008.
·        Ahmadi Miru dan Sakka Pati. 2009. Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW. Rajawali Press : Jakarta
·        Ahmadi Miru.2000. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. Disertasi.Universitas Airlangga : Surabaya. ______2009. Hukum Kontrak . Rajawali Press : Jakarta
·        Andjar Pachta Wirana. 1994. Aspek Hukum Perjanjian. Penelitian BPHN : Jakarta Ary Primadyanta. 2006. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor di Surakarta. Universitas Diponegoro.: Semarang Bambang
·        Sunggono. 1991. Metode Penelitian Hukum. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Barnedette M Waluyo. 2003. Hukum Perjanjian sebagai Ius Constituendum (Lege Ferenda), (Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapaan Hukum Indoesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas), Editor Ida Susanti dan Bayu Seto.
·        Citra Aditya Bhakti : Bandung. Djumhana. 1998. Hukum Perbankan di Indonesia.
·         Citra Aditya Bhakti : Bandung. Erlina Haryati. 2010. Penerapan Pasal-pasal KUHPerdata Pada Jual Beli Rumah dalaam Akta Notaris. Univeristas Diponegoro : Semarang.
·        Herlien Budiono. 2010. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan.Citra Aditya Bhakti : Bandung Firman Floranta Adonara. 2004. Aspek Hukum Sewa Beli Kendaraan Bermotor. Jurnal Hukum Vol. 18 tanggal 1 November 2004.
·        Gemala Dewi. 2006. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Kencana : jakarta. Huala Adolf. 2010. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional.
·         Refika Aditama : Jakarta. Jane Margaretha. 2004. Klausula-klausula yang Merugikan Nasabah dalam Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotordi Kota Semarang Kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak. Universitas Diponegoro : Semarang.
·        J. Satrio. 1993. Perikatan yang Lahir dari Undang-undang. Citra Aditya Bhakti : Bandung. ______1995. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian (Buku I). PT Citra Aditya Bhakti : Bandung. _____. 1992, Hukum Perjanjian . Citra Aditya Bhakti : Bandung
·        . Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya. 2003. Seri Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Raja Grafindo Perkasa : Jakarta.
·         Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi. 2001. Keadilan dalam Berkontrak. Rajagrafindo Persada : Jakarta.
·         Mariam Darusbadrulzaman . 1994.Aneka Hukum Bisnis.Alumni : Bandung.
·        Martin P. Golding and William A. Edmunson (ed). Philosopy of Law and Legal Theory .Blackwell Publishing. Oxford.
·        Moh. Isnaeni. 2003. Kontrak sebagai Rangkaian Kegiatan Bisnis. Workshop Perancangan Kontrak dan Review Kontrak Bisnis,
·        Bina UF Surabaya Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono. 2002. Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, BPFE Universitas Gajah Mada : Yogyakarta.
·         Munir Fuady.1999. Hukum Kontrak.
·        Citra Aditya Bhakti :: Bandung _____. 2001 .Hukum Kontrak dalam Lintas Hukum Bisnis. Makalah : Bandung. _____. 1996. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku I, Citra Aditya Bhakti : Bandung.
·        Munir Fuady. 2007. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),. Citra Aditya Bhkati : Bandung.
·        Panggabean. 2010. Keabsahan Klausula Baku. Universitas Bhayangkara : Jakarta
·        Purwahid Patrik. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Undang-Undang), PT Citra Aditya Bhakti : Bandung.
·         Raymon Pasaribu. 2009. Pengaturan Sewa Beli Rumah di Medan. Tesis. Universitas Sumatera Utara : Medan. Salim Hs dan Budi Sutrisno. 2012. Hukum Investasi di Indonesia.
·        RajaGrafindo : Jakarta. Sarwirini dan Budi Kagramanto, 2000, Perjanjian Baku dan Klausula Ekosenerasi, Makalah, Surabaya Subekti. 1987. Hukum Perjanjian. Cet.XI. PT.Intermasa : Jakarta _____. 1995. Aneka Perjanjian. Alumni : Bandung.
·        Sudaryatmo. 1999. Hukum dan Advokasi konsumen. Citra Aditya Bhakti : Bandung. Sutan Remy Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlidungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Institut Bankir Indonesia : Jakarta.
·        Yusuf Shofie. 2000.Perlindungan Konsumen dan Instrumen –instrumen Hukumnya. Citra Aditya Bhakti : Bandung.
·        Wirjono Prodjodikoro. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia. Sumur : Bandung

sumber : http://repo.unsrat.ac.id/403/1/WANPRESTASI_DALAM_PERJANJIAN_SEWA_BELI.pdf

Daftar Nama Kelompok :

Ø  Dewi Setiawati (21212963)
Ø  Rivalno (26212494)
Ø  Wiwiek widyastuti (28212175)

Kelas :
2eb12